Tugas Jiwa Kel 3 Reguler 1



TUGAS KEPERAWATAN JIWA
ASUHAN KEPERAWATAN PSIKOSOSIAL





 










KELOMPOK 3 :
1.      Galuh Dwi S.V
2.      Hani Nurtia Rani
3.      Hendriyani
4.      I Gede Komang A.T
5.      I Made Yudiarte
6.      Krisna Dwi Wicaksono
7.      Laila Zubaidas
8.      M. Andre Saputra

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES TANJUNGKARANG
JURUSAN KEPERAWATAN

 ASUHAN KEPERAWATAN PSIKOSOSIAL PADA
 PENYAKIT KRONIS HIV/AIDS




ASKEP PSIKOLOGIS PADA KLIEN HIV/AIDS
BAB 1
PENDAHULUAN

1,1. Latar belakang
 Acquired Immune Deficuency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan ditandai dengan imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologis (Vinay Kumar,2007). Pengidap AIDS umumnya berada dalam situasi yang membuat mereka merasakan menjelang kematian dalam waktu dekat. Situasi tersebut mereka antisipasi secara khusus. Ketika individu dinyatakan terinfeksi HIV, sebagian besar menunjukkan perubahan karakter psikososial (hidup dalam stress, depresi, merasa kurangnya dukungan social, dan perubahan perilaku (Nasronudin, 2005).
 Pada suatu studi longitudinal ditemukan hasil dimana jumlah CD4+ limfosit menurun 38% lebih besar pada penderita HIV yang tidak mengalami depresi. Pada suatu studi longitudinal dilaporkan prevalensi depresi meningkat dari 15-27% pada 36 bulan sebelum diagnosis AIDS hingga 34% pada saat 6 bulan sebelum diagnosis AIDS dan 43% pada saat 6 bulan sesudah diagnosis (Tandiono, 2007).
Penolakan terhadap diagnosis HIV akan membuat penderita jatuh pada keadaan stress berkepanjangan dan berdampak pada penurunan system imun, sehingga mempercepatprogresivitas HIV ke AIDS. Berdasarkan pendekatan ilmu Psychoneuroimunology dapat dijelaskan, kondisi emosional berupa penolakan dan stress yang dialami penderita terinfeksi HIV akan memodulasi system imun melelui jalur Hipothalamus-Pituitary-Adenocorticol (HPA) axis dan system limbic (control emosi dan Learning Process), melepaskan neuroleptik Corticotropin Realising Factor (CRF). Counter Regulasi ini mrningkatkan produksi dari kotekolamin, kortisol dan argininvasopresin (AVP) (Nasronudin,  2005)
 Motivasi sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan seseorang baik berupa motivasi ekstrinsik (dukungan orang tua, teman dan sebagainya) maupun motivasi intrinsic (dari individu sendiri). Dukungan social mempengaruhi kesehatan dan melindungi seseorang terhadap efek negative stress berat (Nursalam, 2007). Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian dukungan sosial, berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990; Bear, 1996; Folkman & Lazarus, 1988).



BAB 2
KONSEP DASAR

2.1. Definisi HIV/AIDS
            Acquired Immune Deficuency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai oleh imunosupresi berat yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan manifestasi neurologis (Vinay Kumar, 2007). HIV telah ditetapkan sebagai agens penyebab AIDS. AIDS adalah suatu kumpulan kondisi klinis tertentu yang merupakan hasil akhir dariinfeksi oleh HIV (Sylvia Anderson Price, 2006).
2.2. Konsep stress dan stressor
Stres sebagai interaksi dan transaksi antara individu dengan lingkungan. Pendekatan ini telah dibatasi sebagai “ model psikologi”. Varian dari model psikologi ini didominasi teori stres kontemporer dan terdapat dua tipe tegas yang dapat diidentifikasi: interaksional dan transaksional. Menggambarkan stres sebagai suatu proses yang meliputi stresor dan strain (ketegangan) dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional yang didalamnya terdapat proses penyesuaian. Stres bukan hanya suatu stimulus atau sebuah respons saja, tetapi suatu agent yang aktif yang dapat mempengaruhi stresor melalui strategi perilaku, kognitif dan emosional. Individu akan memberikan reaksi stres yang berbeda pada stresor yang sama.
Stres sebagai suatu respons biologis. Hal ini sesuai dengan pemikiran Selye bahwa stres berfokus pada reaksi seseorang terhadap stresor dan mengambarkan stres sebagai suatu respons. Respons yang dialami itu mengandung dua komponen yaitu komponen psikologis (meliputi perilaku, pola pikir, emosi dan perasaan stres) dan komponen fisiologis (berupa rangsangan-rangsangan fisik yang meningkat). Selye mengemukakan respons tubuh terhadap stres tersebut sebagai “Stress Syndrome” atau “General Adaptation Syndrome (GAS)” yang merupakan respons umum dari tubuh. GAS menurut Selye terjadi saat organisme mengalami stres yang panjang atau lama dan organ tubuh yang lain juga ikut dipengaruhi oleh kondisi stres tersebut. Selye (1983) membagi stressor dalam beberapa tahap:


1. Alarm Stage
Merupakan reakisi awal tubuh dalam menghadapi berbagai stresor. Reaksi ini mirip dengan fight or flight response. Tubuh tidak dapat mempertahankan tahap ini untuk jangka waktu lama.
2. Adaptation stage (Eustress)
Tubuh mulai beradaptasi dengan adanya stres dan berusaha mengatasi dan membatasi stresor. Ketidakmampuan beradaptasi akan berakibat orang menjadi lebih rentan terhadap penyakit (disebut penyakit adaptasi).
3. Exhaustion (distress) stage
Tahap dimana adaptasi tidak bisa dipertahankan, disebabkan karena stres yang berulang atau berkepanjangan sehingga stres berdampak pada seluruh tubuh.

2.2. Perkembangan Psikoneuroimunologi
Perkembangan Psikoneuroimunologi di Indonesia diawali oleh penelitian Putra dkk (1992) pengaruh latihan dan Respons imun dilanjutkan pada tahun 1993 meneliti tentang pengaruh latihan fisik dan kondisi kejiwaan terhadap ketahanan tubuh. Penelitian tersebut berdasar pada konsep psikoneuroimunologi. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa latihan fisik yang dilakukan secara teratur dengan dosis yang intermiten dan dilakukan dalam kondisi yang menyenangkan akan meningkatkan respons imunitas, yaitu peningkatan IgM, IgG, IgA, monosit, subset T4 (helper), estrogen, kortisol, testosterone dan ACTH.
Mekanisme peningkatan ketahanan tubuh secara psikoneuroimunologi dapat dilihat dengan menghubungkan perubahan yang terjadi pada hormon dan neuropeptida yang melibatkan faktor kondisi kejiwaan (stres) dalam mekanisme perubahan ketahanan tubuh. Kondisi kejiwaan tersebut digambarkan sebagai status emosi yang mencerminkan dasar konsep kelainan mental.
Berdasar pada pemahaman konsep diatas, maka Psikoneuroimunologi merupakan neologisme (istilah baru) yang menggambarkan discipline hybride, yang mempunyai paradigma tersendiri, yaitu imunoregulasi tidak otonom. 


 




KONSEP KEPERAWATAN
3.1  Pengkajian dan Masalah Keperawatan
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.
Terjadi penurunan imunitas tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, faktor yang penting menjadi perhatian tenaga kesehatan adalah stresor psikososial. Reaksi pertama kali yang ditunjukkan setelah didiagnosis mengidap HIV adalah menolak (denial) dan shock (disbelief). Mereka beranggapan bahwa sudah tidak ada harapan lagi dan merupakan penderitaan sepanjang hidupnya.
Tabel 1.1: Pengelompokan Masalah Keperawatan Pasien HIV/AIDS (menurut Teori Adaptasi)
Masalah Fisik
Masalah Psikis
Masalah Sosial
Masalah Ketergantungan
1. Sistem Pernapasan: Dyspnea, TBC, Pneumonia)
2. Sistem Pencernaan (Nausea-Vomiting, Diare, Dysphagia, BB turun 10%/3 bulan)
3. Sistem Persarafan: letargi, nyeri sendi, encepalopathy.
4. Sistem Integumen: Edema yg disebabkan Kaposis Sarcoma, Lesi di kulit atau mukosa, Alergi.
5. Lain – lain : Demam, Risiko menularkan
- Intergritas Ego:
Perasaan tak berdaya/ putus asa
- Faktor stress: baru/ lama
- Respons psikologis:
Denial, marah,
Cemas, irritable

Perasaan minder dan tak berguna di masyarakat
Interaksi Sosial:
-Perasaan terisolasi/ ditolak
Perasaan membutuhkan pertolongan orang lain
                                             
3.3.  Respons Adaptif Psikososial - Spiritual                                                
3.3.1.   Respons Adaptif Psikologis (penerimaan diri)
Pengalaman suatu penyakit akan membangkitkan berbagai perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan, penyangkalan, rasa malu, berduka dan ketidak pastian menuju pada adaptasi terhadap penyakit.
Tahapan reaksi psikologis pasien HIV (Grame Stewart, 1997) adalah seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 1.2. Reaksi Psikologis Pasien HIV
Reaksi
Proses psikologis
Hal-hal yang biasa di jumpai
1. Shock (kaget, goncangan batin)
Merasa bersalah, marah, tidak berdaya
Rasa takut, hilang akal, frustrasi, rasa sedih, susah, acting out
2. Mengucilkan diri
Merasa cacat dan tidak berguna, menutup diri
Khawatir menginfeksi orang lain, murung
3. Membuka status secara terbatas
Ingin tahu reaksi orang lain, pengalihan stres, ingin dicintai
Penolakan, stres, konfrontasi
4. mencari orang lain yang HIV positif
Berbagi rasa, pengenalan, kepercayaan, penguatan, dukungan sosial
Ketergantungan, campur tangan, tidak percaya pada pemegang rahasia dirinya
5. Status khusus
Perubahan keterasingan menjadi manfaat khusus, perbedaan menjadi hal yang istmewa, dibutuhkan oleh yang lainnya
Ketergantungan, dikotomi kita dan mereka (sema orang dilihat sebagai terinfeksi HIV dan direspon seperti itu), over identification
6.Perilaku mementingkan orang lain
Komitmen dan kesatuan kelompok, kepuasan memberi dan berbagi, perasaan sebagi kelompok
Pemadaman, reaksi dan kompensasi yang berlebihan
7. Penerimaan
Integrasi status positif HIV dengan identitas diri, keseimbangan antara kepentingan orang lain dengan diri sendiri, bisa menyebutkan kondisi seseorang
Apatis, sulit berubah.

Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit menurut Kubler Ross (1974):
a. Pengingkaran (denial)
Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya. Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
b. Kemarahan (anger)
Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut, cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama, sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
c. Sikap tawar menawar (bargaining)
Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
d. Depresi
Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam, kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999).
e. Penerimaan dan partisipasi
Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi, kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996).
Proses ingatan jangka panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
                             
3.3.2.  Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson (2000) dan Kauman & Nipan (2003).
Respons adaptif Spiritual, meliputi:
1. Harapan yang realistis
2. Tabah dan sabar                  
3. Pandai mengambil hikmah 
 
3.2.  Diagnosis Keperawatan Pada HIV/AIDS
Pada klien dengan HIV/AIDS, bisa ditemukan beberapa diagnosis keperawatan berkaitan dengan respon psikologis dan spiritual antara lain:
1.      Kecemasan berhubungan dengan: prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang efek
penyakit dan pengobatan terhadap gaya hidup.
2.      Gangguan gambaran diri berhubungan dengan: penyakit kronis, alopesia, penurunan berat badan, dan gangguan seksual.
3.      Koping keluarga: tidak mampu berhubungan dengan informasi atau pemahaman yang tidak adekuat atau tidak tepat keluarga atau teman dekat, penyakit kronis, perasaan yang tidak terselesaikan secara kronis.
4.      Koping tidak efektif berhubungan dengan: kerentanan individu dalam situasi krisis
(misalnya penyakit terminal).
5.      Takut berhubungan dengan: ketidakberdayaan, ancaman yang nyata terhadap kesejahteraan diri sendiri, kemungkinan terkucil, kemungkinan kematian. 
6.      Berduka, disfungsional/diantisipasi berhubungan dengan: kematian atau perubahan gaya hidup yang segera terjadi, kehilangan fungsi tubuh, perubahan penampilan, ditinggalkan oleh orang yang berarti (orang terdekat).
7.      Keputusasaan berhubungan dengan: perubahan kondisi fisik, prognosis yang buruk.  
8.      Harga diri rendah (kronik, situasional) berhubungan dengan penyakit kronis, krisis
situasional. 
9.      Isolasi sosial berhubungan dengan stigma, ketakutan orang lain terhadap penyebaran
infeksi, ketakutan diri sendiri terhadap penyebaran HIV, moral budaya dan agama, penampilan fisik, gangguan harga diri dan gambaran diri.
10.  Distres spiritual berhubungan dengan: tantangan sistem keyakinan dan nilai, tes
keyakinan spiritual.
11.  Risiko kekerasan yang diarahkan pada diri sendiri faktor rsiiko: ide bunuh diri,
keputusasaan.
(Sumber: Wilkinson, 2005) .
 
3.4. Intervensi Keperawatan Pasien Terinfeksi (PHIV)
Prinsip Asuhan keperawatan PHIV dalam mengubah perilaku dalam perawatan dan meningkatkan respons Imunitas PHIV melalui pemenuhan kebutuhan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual perawat dalam menurunkan stresor. Pasien yang didiagnosis dengan HIV mengalami stres persepsi (kognisi: penerimaan diri, sosial, dan spiritual) dan respons biologis selama menjalani perawatan di rumah sakit dan di rumah (home care). Peran perawat dalam perawatan pasien terinfeksi HIV adalah melaksanakan pendekatan Asuhan Keperawatan agar pasien dapat beradaptasi dengan cepat. Antara lain adalah:
1.  Memfasilitasi strategi koping
            a.       Memfasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respons penerimaan
                  sesuai tahapan dari Kubler-Ross
            b.      Teknik Kognitif, penyelesaian masalah; harapan yang realistis; dan pandai
                  mengambil hikmah
            c.       Teknik Perilaku, mengajarkan perilaku yang mendukung kesembuhan: kontrol &
                  minum obat teratur; konsumsi nutrisi seimbang; istirahat dan aktifitas teratur; dan
                  menghindari konsumsi atau tindakan yang menambah parah sakitnya

2. Dukungan sosial
      a. dukungan emosional, pasien merasa nyaman; dihargai; dicintai; dan diperhatikan
      b. dukungan informasi, meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap
          sakitnya
      c. dukungan material, bantuan / kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien
                                               
3.5.. Asuhan keperawatan respon adaptif psikologis (strtegi koping)
Mekanisme koping adalah mekanisme yang digunakan individu untuk menghadapi perubahan yang diterima. Apabila mekanisme koping berhasil, maka orang tersebut akan dapat beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Mekanime koping dapat dipelajari, sejak awal timbulnya stresor dan orang menyadari dampak dari stresor tersebut (Carlson, 1994). Kemampuan koping dari individu tergantung dari temperamen, persepsi, dan kognisi serta latar belakang budaya/norma dimana dia dibesarkan (Carlson, 1994).
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat. Belajar disini adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada pengaruh faktor internal dan eksternal (Nursalam, 2003). Menurut Roy, yang dikutip oleh Nursalam (2003) mekanisme belajar merupakan suatu proses didalam sistem adaptasi (cognator) yang meliputi mempersepsikan suatu informasi, baik dalam bentuk implisit maupun eksplisit. Belajar implisit umumnya bersifat reflektif dan tidak memerlukan kesadaran (focal) sebagaimana terlihat pada gambaaar. Keadaan ini ditemukan pada perilaku kebiasaan, sensitisasi dan keadaan. Pada habituasi timbul suatu penurunan dari transmisi sinap pada neuron sensoris sebagai akibat dari penurunan jumlah neurotransmitter yang berkurang yang dilepas oleh terminal presinap (Bear, 1996; Notosoedirdjo, 1998). Pada habituasi menuju ke depresi homosinaptik untuk suatu aktivitas dari luar yang terangsang terus menerus (Bear, 1996). Sensitifitas sifatnya lebih kompleks dari habituasi, mempunyai potensial jangka panjang (beberapa menit sampai beberapa minggu).
Koping yang efektif menempati tempat yang central terhadap ketahanan tubuh dan daya penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit baik bersifat fisik maupun psikis, sosial, spiritual. Perhatian terhadap koping tidak hanya terbatas pada sakit ringan tetapi justru penekanannya pada kondisi sakit yang berat (Notosoedirdjo M, 1998 & Keliat, 1999).
Lipowski membagi koping dalam 2 bentuk , yaitu coping style dan coping strategy. Coping style merupakan mekanisme adaptasi individu meliputi mekanisme psikologis dan mekanisme kognitif dan persepsi. Sifat dasar coping style adalah mengurangi makna suatu konsep yang dianutnya, misalnya penolakan atau pengingkaran yang bervariasi yang tidak realistis atau berat (psikotik) hingga pada tingkatan yang sangat ringan saja terhadap suatu keadaan.
Coping strategy merupakan koping yang digunakan individu secara sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya. Terbentuknya mekanisme koping bisa diperoleh melalui proses belajar dalam pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme koping yang efektif dalam menghadapi stresor, maka stresor tidak akan menimbulkan stres yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru menjadi stimulan yang mendatangkan wellness dan prestasi.
1. Strategi Koping (Cara Penyelesaian Masalah)
Beradaptasi terhadap penyakit memerlukan berbagai strategi tergantung ketrampilan koping yang bisa digunakan dalam menghadapi situasi sulit. Menurut Mooss (1984) yang dikutip Brunner dan Suddarth menguraikan tujuh koping yang negatif kategori keterampilan.
           a.       Koping yang negatif
1.      Penyangkalan (avoidance)
Penyangkalan meliputi penolakan untuk menerima atau menghargai keseriusan penyakit. Pasien biasanya menyamarkan gejala yang merupakan bukti suatu penyakit atau mengacuhkan beratnya diagnosis penyakit dan penyangkalan ini merupakan mekanisme pertahanan ego yang melindungi terhadap kecemasan.
            2.      Menyalahkan diri sendiri (self-blame). Koping ini muncul sebagai reaksi terhadap
                  suatu keputusasaan. Pasien merasa bersalah dan semua yang terjadi akibat dari
                  perbuatannya.
                  3.      Pasrah (wishfull thinking). Pasien merasa pasrah terhadap masalah yang menimpanya
                        tanpa adanya usaha dan motivasi untuk menghadapinya.
           b.      Mencari informasi
           Keterampilan koping dalam mencari informasi mencakup
                 1.         Mengumpulkan informasi yang berkaitan yang dapat menghilangkan
                  kecemasan yang disebabkan oleh salah konsepsi dan ketidakpastian.
                 2.         Menggunakan sumber intelektual secara efektif
                  Pasien sering merasa terhibur oleh informasi mengenai penyakit, pengobatan dan
                  perjalanan penyakit yang diperkirakan terjadi.
           c.     Meminta dukungan emosional
           Kemampuan untuk mendapat dukungan emosional dari keluarga, sahabat dan
           pelayanan kesehatan sementara memelihara rasa kemampuan diri sangat penting.
           Koping ini bermakna untuk meraih bantuan dari orang lain sehingga akan memelihara
           harapan melalui dukungan.
           d.     Pembelajaran perawatan diri
           Belajar merawat diri sendiri menunjukkan kemampuan dan efektifitas seseorang,
           ketidakberdayaan seseorang akan berkurang karena rasa bangga dalam percepatan
           membantu memulihkan dan memelihara harga diri.
           e.     Menetapkan tujuan kongkrit, terbatas
           Keseluruhan tugas beradaptasi terhadap penyakit serius tampak membingungkan pada
           awalnya namun tugas tersebut dapat dikuasai dengan membagi-bagi tugas tersebut
           menjadi tujuan yang lebih kecil dan dapat ditangani akhirnya mengarah pada
           keberhasilan. Hal ini dapat dilaksanakan bila motivasi tetap dijaga dan perasaan tidak
           berdaya dikurangi.
           f.      Mengulangi hasil alternatif
           Selalu saja ada alternatif lain dalam setiap situasi, dengan memahami pilihan tersebut
           akan membatu pasien merasa berjurang ketidakberdayaannya. Dengan menggali
           pilihan tersebut bersama perawat dalam keluarga akan membatu membuka realitas
           sebagai dasar untuk membuat keputusan selanjutnya. Koping ini membantu pasien
           mengurangi kecemasan dengan cara mempersiapkan hari esok dengan mengingat
           kembali bagaimana pasein mampu mengatasi kesulitan masa lalu dan meningkatkan
           percaya diri.
           g.      Menemukan makna dari penyakit
           Penyakit merupakan satu pengalaman manusia kebanyakan orang menganggap
           penyakit serius sebagai titik balik kehidupan mereka baik spiritual maupun fisiologis,
           terkadang orang menemukan kepuasan dalam kepercayaan mereka bahwa pasien
           mungkin mempunyai makna atau berguna bagi orang lain. Mereka dapat berpartisipasi
           dalam proyek penelitian atau program latihan untuk saat ini, keluarga dapat berkumpul
           akibat adanya penyakit meskipun menyakitkan namun dengan cara sangat berarti.

2. Koping yang positif (Teknik Koping)
     Ada 3 teknik koping yang ditawarkan dalam mengatasi stress:
           a.      Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi diri)
           Sumber daya psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan individu dalam
           memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan situasi dan lingkungan (Pearlin
           & Schooler, 1978:5). Karakterisik di bawah ini merupakan sumber daya psikologis
           yang penting.
1. Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
     Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stres, sebagaimana teori dari Colley’s
     looking-glass self: rasa percaya diri, dan kemampuan untuk mengatasi masalah yg
     dihadapi.
2. Mengontrol diri sendiri
     Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri sendiri dan situasi
     (internal control) dan external control (bahwa kehidupannya dikendalikan oleh
     keberuntungan, nasib, dari luar) sehingga pasien akan mampu mengambil hikmah
     dari sakitnya (looking for silver lining)

Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping pasien, perawat harus menguatkan kontrol diri pasien dengan melakukan:
1.   Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol diri
2.   Meningkatkan perilaku menyeleseaikan masalah
3.   Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang
      lebih baik
4.   Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan terhadap dirinya
5.   Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat meningkatkan
      kontrol diri: keyakinan, agama

           b.      Rasionalisasi (Teknik Kognitif)
           Upaya memahami dan mengiterpretasikan secara spesifik terhadap stres dalam mencari
           arti dan makna stres (neutralize its stressfull). Dalam menghadapi situasi stres, respons
           individu secara rasional adalah dia akan menghadapi secara terus terang, mengabaikan,
           atau memberitahukan kepada diri sendiri bahwa masalah tersebut bukan sesuatu yang
           penting untuk dipikirkan dan semuanya akan berakhir dengan sendirinya. Sebagaian
           orang berpikir bahwa setiap suatu kejadian akan menjadi sesuatu tantangan dalam
           hidupnya. Sebagian lagi menggantungkan semua permasalahan dengan melakukan
           kegiatan spiritual, lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta untuk mencari hikmah
           dan makna dari semua yang terjadi.
           c.       Teknik Perilaku
           Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu dalam mengatasi situasi
           stres. Beberapa individu melakukan kegiatan yang bermanfaat dalam menunjang
           kesembuhannya. Misalnya, pasien HIV akan melakukan aktivitas yang dapat
           membantu peningkatan daya tubuhnya dengan tidur secara teratur, makan seimbang,
           minum obat anti retroviral dan obat untuk infeksi sekunder secara teratur, tidur dan
           istirahat yang cukup, dan menghindari konsumsi obat-abat yang memperparah keadan
           sakitnya.
3.6. Asuhan Keperawatan Respons Spiritual
Asuhan keperawatan pada aspek spiritual ditekankan pada penerimaan pasien terhadap sakit yang dideritanya (Ronaldson, 2000). Sehingga PHIV akan dapat menerima dengan ikhlas terhadap sakit yang dialami dan mampu mengambil hikmah. Asuhan keperawatan yang dapat diberikan adalah:
a. Menguatkan harapan yang realistis kepada pasien terhadap kesembuhan
Harapan merupakan salah satu unsur yang penting dalam dukungan sosial. Orang bijak mengatakan “hidup tanpa harapan, akan membuat orang putus asa dan bunuh diri”. Perawat harus meyakinkan kepada pasien bahwa sekecil apapun kesembuhan, misalnya akan memberikan ketenangan dan keyakinan pasien untuk berobat.
b. Pandai mengambil hikmah
Peran perawat dalam hal ini adalah mengingatkan dan mengajarkan kepada pasien untuk selalu berfikiran positif terhadap semua cobaan yang dialaminya. Dibalik semua cobaan yang dialami pasien, pasti ada maksud dari Sang Pencipta. Pasien harus difasilitasi untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan jalan melakukan ibadah secara terus menerus. Sehingga pasien diharapkan memperoleh suatu ketenangan selama sakit.
c. Ketabahan hati
Karakteristik seseorang didasarkan pada keteguhan dan ketabahan hati dalam menghadapi cobaan. Individu yang mempunyai kepribadian yang kuat, akan tabah dalam menghadapi setiap cobaan. Individu tersebut biasanya mempunyai keteguhan hati dalam menentukan kehidupannya.
Ketabahan hati sangat dianjurkan kepada PHIV. Perawat dapat menguatkan diri pasien dengan memberikan contoh nyata dan atau mengutip kitab suci atau pendapat orang bijak; bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan kepada umatNYA, melebihi kemampuannya (Al. Baqarah, 286). Pasien harus diyakinkan bahwa semua cobaan yang diberikan pasti mengandung hikmah, yang sangat penting dalam kehidupannya.


 




























BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Penurunan imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain stressor biologis dan psikososial. Stres mempengaruhi derajat reaktivitas sistem endokrin dan imun, yaitu peningkatan sekresi hormon adrenal terutama kortikosteroid dan katekolamin, secara tidak langsung stres mempengaruhi melalui perilaku yang meningkatkan kemungkinan terjadinya sakit atau perlukaan, misal mengkonsumsi alkohol dan merokok berlebihan.
Masalah keperawatan pada klien HIV/AIDS dapat dikelompokkan menjadi 4 hal, yaitu masalah yang berhubungan dengan (1) biologis, (2) psikis, (3) sosial, dan (4) ketergantungan Peran perawat meliputi pemenuhan kebutuhan biologis, strategi koping, pemberian dukungan sosial, dan dukungan spiritual kepada pasien secara positif selama menjalani perawatan
Prinsip Asuhan keperawatan pasien HIV dalam meningkatkan Imunitas Klien HIV/AIDS melalui pemenuhan kebutuhan biologis, psikologis, sosial, dan spiritual perawat dalam menurunkan stressor.
 4.2. Saran
Penerapan Asuhan Keperawatan pada pasien dengan HIV/AIDS  secara menyeluruh  meliputi kebutuhan biologis, psikologis, social dan spiritual sangat penting dilakukan. Hal ini ditujukan untuk melindungi pasien terhadap efek negative stress berat yang dapat mengakibatkan penurunan system imun. Perawat diharapkan memfasilitasi dan mengarahkan koping yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya.


 










DAFTAR PUSTAKA

-          Dr. Nursalam, M.Nurs (Hons), Ninuk Dian K, S.Kep.Ners, Asuhan Keperawatan Pada Pasien Terinfeksi HIV, Salemba Medika, Jakarta 2007
-          Nursalam, S.Kep.Ners dkk, Jurnal Keperawatan edisi bulan November,Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar